Rabu, 28 April 2021

Makalah Putusan dan Upaya Hukum

Putusan dan Upaya Hukum

Disusun Untuk Memenuhi Tugas UTS
Mata Kuliah : Hukum Acara Perdata
Dosen: Dr. Supriyadi, S.H, M.H

Disusun Oleh
Faza Al Muttaqin (1920110037)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM 
TAHUN 2021


Kata Pengantar

Dengan segala puji yang kita haturkan kehadirat Allah swt. Yang telah memberikan kesehatan jasmani dan rohani. sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Putusan dan Upaya hukum” dengan lancar tanpa suatu halangan apapun. tujuanpemakalah menbuat makalah ini,agar pembaca dapat memahami bagaimana dan apa saja yang terkait dalam Hukum Acara Perdata yang ada di Indonesia.
Selesainya makalah ini tidak lepas dari bantuan lain-lain,oleh karena itu pemakaalah mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Dr. Supriyadi, S.H.,M.H. selaku dossen pengampuh mata kuliah Hukum Acara Perdata, dan orang tua yang selalu memotivasi  dalam setiap langkah.
Sebelumnya pemakalah meminta maaf jika ada kesalahan kata dalam makalah ini.oleh karena itu,kritik dan saran yang bersifat membangun sangat pemakalah harapkan agar kedepannya menjadi lebih baik.
TERIMA KASIH…….

DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
    A. Latar Belakang
    B. Rumusan Masalah
    C. Tujuan Masalah
Bab II Pembahasaan
    A. Pengertian Putusan
    B. Asas Asas Dalam Putusan
    C. Kekuatan Putusan
    D. Formulasi Putusan
    E. Jenis Jenis Putusan
    F. Upaya Hukum
Bab III Penutup
    A. Kesimpulan
Daftar Pustaka







BAB I
Pendahuluan

A. Latar belakang
        
        Putusan Pengadilan merupakan suatu produk hukum berupa Putusan yang dikeluarkan oleh Hakim dan merupakan pernyataan sebagai pejabat Negara yang berwenang, diucapkan dimuka sidang yang hasil akhirnya adalah untuk mengakhiri sengketa perkara antar pihak yang bersengketa. Putusan juga merupakan suatu pernyataan yang memiliki kekuatan hukum mengikat yang diatur dalam undang undang untuk dipatuhi dan dijalani. Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim dalam menentukan putusan yang akan dijatuhkan kepada para pihak yang bersengketa baik pihak yang menggugat haknya yakni penggugat maupun pihak yang digugat hak dan kepentingannya yakni tergugat.. Hakim harus dapat mengolah dan memproses data-data yang diperoleh selama proses persidangan dalam hal ini alat bukti tertulis, keterangan saksi, pengakuan, persangkaan, dan sumpah, maupun keterangan ahli (expertise) dan pemeriksaan setempat. Sehingga keputusan yang akan dijatuhkan kepada para pihak yang bersengketa dapat didasari oleh rasa tanggung jawab, keadilan, kebijaksanaan, profesionalisme dan bersifat obyektif.
B. Rumusan Masalah  
  1.    Apakah yang dimaksud dengan putusan dalam Hukum Acara Perdata?
  2. Apa sajakah asas-asas dalam Putusan Hakim?
  3.   Seperti apa kekuatan dari sebuah putusan?
  4.  Bagaimanakah bentuk atau formulasi dari sebuah putusan?

  5.  Bagaimana bentuk  atau jenis-jenis dari putusan?

  6.  Bagaimanakah upaya hukum terhadap putusan hakim?

C. Tujuan Masalah 
  1. Mengetahui apa itu putusan dalam Hukum Acara Perdata
  2. Mengetahui Asas - Asas dalam Putusan Hakim
  3. Mengetahui seperti apa kekuatan dari Putusan
  4.  Mengetahui bentuk dari sebuah Putusan
  5. Mengetahui jenis Jenis dari putusan
  6. Mengetahui Upaya Hukum Terhadap Putusan Hakim
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Putusan
        
        Sesuai ketentuan Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBg, apabila pemeriksaan perkara selesai, Majelis Hakim karena jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan. Menurut Penjelasan Pasal 60 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Putusan adalah keputusan Pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu   sengketa.
    Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.
     Menurut Soeparnono, putusan adalah pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk menyelesaikan perkara. Hal senada disampaikan oleh Yahya Harahap, yakni putusan akhir adalah tindakan atau perbuatan hakim,  sebagai penguasa atau pelaksana kekuasaan kehakiman untuk menyelesaikan dan mengakhiri sengketa yang terjadi di antara pihak yang berperkara.
     Berdasarkan pengertian di atas, unsur putusan adalah:

a.       Pernyataan hakim yang diberi wewenang oleh negara;

b.       Diucapkan di muka persidangan; dan

c.      Bertujuan untuk menyelesaikan atau memutus suatu perkara.

Dalam membuat keputusan pengadilan, seorang hakim dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

a.    Faktor hakim itu sendiri, misalnya adalah kepribadiannya, intelegensi, suasana hati.

b.    Faktor opini publik yang tertulis dalam media massa ketika sidang tengah berlangsung.

c.  Faktor pengacara, misalnya performance dan gaya bicara yang meyakinkan juga memberikan pengaruh terhadap putusan hukuman.

d.     Faktor terdakwa, misalnya jenis kelamin terdakwa, ras dan kemampuan bicara.


B. Asas Asas Dalam Putusan


Dalam suatu putusan terdapat asas yang harus ditegakkan, agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat, yang selanjutnya dijelaskan dalamPasal 178 HIR, Pasal 189 RBg dan Pasal Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman

1.           Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci

Menurut asas ini, putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan ini dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan (onvol doen de gemotiveerd). Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuanPasal 25 UU No. 4 Tahun 2004 dan Pasal 178 ayat (1) HIR: 

a.    pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan

b.       Hukum kebiasaan;

c.        Yurisprudensi;

d.       Doktrin hukum.

  2.           Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan

          Asas ini digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) RBG dan Pasal 50 Rv. Menurut ketentuan ini, putusan yang dijatuhkan pengadilan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap gugatan yang diajukan. Hakim tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja, dan mengabaikan gugatan selebihnya.

3.           Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan

Asas ini digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR, Pasal 189 ayat (3) RBG dan Pasal 50 Rv. Menurut ketentuanini, putusan yang dijatuhkan pengadilan tidakboleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan (ultra petitum partium). Hakim yang memutus melebihi tuntutan merupakan tindakan melampaui batas kewenangan (beyond the powers of this authority), sehingga putusannya cacat hukum. Larangan hakim menjatuhkan putusan melampaui batas wewenangnya ditegaskan juga dalam Putusan MA No. 1001 K/Sip/1972.  Dalam putusan mengatakan bahwa hakim dilarang mengabulkan hal-hal yang tidak diminta atau melebihi dari apa yang diminta.

4.           Diucapkan di Sidang Terbuka Untuk Umum

            Menurut Pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004, semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam siding terbuka untuk umum. Tujuan dari ketentuan iniuntuk menghindari putusan pengadilan yang an fair trial . Selain itu, menurut SEMA No. 04 Tahun 1974, pemeriksaan dan pengucapan putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila dilakukan dalam siding pengadilan.

C. Kekuatan Putusan

Dalam HIR tidak mengatur tentang kekuatan putusan hakim. Putusan mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan:

1.           Kekuatan Mengikat

Suatu putusan dimaksudkan untuk dapat melaksanakan atau merealisasikan suatu hak secara paksa. Sehingga, putusan hakim mempunyai kekuatan hukum mengikat para pihak (Pasal 1917 BW). Kekuatan mengikat ini karena kedua pihak telah bersepakat untuk menyerahkan kepada pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara mereka, maka dengan demikian kedua pihak harus tunduk terhadap putusan yang dibuat oleh pengadilan atau hakim. 

2.           Kekuatan Pembuktian

Suatu putusan dituangkan dalam bentuk tertulis, yang merupakan akta otentik dimaksudkan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi, atau pelaksanaannya.

3.           Kekuatan Eksekutorial

Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak dan hukumnya.

D. Formulasi Putusan
    Di dalam HIR tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaimana putusan hakim harus dibuat. Hanyalah tentang apa harus dimuat di dalam putusan diatur dalam Pasal 183, 184, 187, HIR, (Pasal 194, 195, 198 Rbg), Pasal 25 UU No. 4 Tahun 2004.

a.       Kepala putusan, memiliki kekuatan eksekutorial kepada putusan pengadilan. Pencantuman kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan  Yang Maha Esa” dalam putusan pengadilan oleh pembuat Undang-Undang  juga dimaksudkan agar hakim selalu menginsafi, bahwa karena sumpah jabatannya ia tidak hanya bertanggung jawab pada hukum, diri sendiri, dan kepada rakyat, tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa (Penjelasan Umum angka 6 UU No.14/1970).

b.       Identitas pihak-pihak yang berperkara, dalam putusan pengadilan identitas pihak penggugat, tergugat dan turut tergugat harus dimuat secara jelas, yaitu nama, alamat, pekerjaan, dan sebagainya serta nama kuasanya kalau yang bersangkutan menguasakan kepada orang lain.

c.       Pertimbangan (alasan-alasan), dalam putusan pengadilan terhadap perkara perdata terdiri atas 2 (dua) bagian, yaitu :

            i.        Pertimbangan tentang duduk perkaranya (feitelijkegronden), adalah bukan pertimbangan dalam arti sebenarnya, oleh karenanya pertimbangan tersebut hanya menyebutkan apa yang terjadi didepan pengadilan. Sering kali dalam prakteknya gugatan penggugat dan jawaban tergugat dikutip secara lengkap, padahal dalamPasal 184 HIR/Pasal 195 RBg menentukan bahwa setiap putusan pengadilan dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas.

            ii.    Pertimbangan tentang hukumnya (rechts gronden), adalah pertimbangan atau alasan dalam arti yang sebenarnya, pertimbangan hukum inilah yang menentukan nilai dari suatu putusan pengadilan, yang penting diketahui oleh pihak-pihak yang ber perkara dan hakim yang meninjau putusan tersebut dalam pemeriksaan tingkat banding dan tingkat kasasi.

d.       Amar Putusan, dalam gugatan penggugat ada yang namanya petitum, yakni apa yang dituntut atau diminta supaya diputuskan oleh hakim. Jadi Amar putusan (diktum) itu adalah putusan pengadilan merupakan jawaban terhadap petitum dalam gugatan penggugat.

E. Jenis Jenis Putusan

1.       Putusan akhir, adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir berdasarkan sifatnya dibagi atas:

a.       Putusan Condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi.

b.       Putusan Constitutif adalah putusan yang meniadakan atau mencipatakan suatu keadaan hukum, mislanya pemutusan perkawinan, pengangkatan wali, pernyataan pailit, dan lain-lain.

c.       Putusan Declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah.

2.       Putusan sela atau putusan antara atau bukan putusan akhir

Pasal 48 Rv juga membedakan putusan antara:

a.       Putusan Praeparatoir adalah putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa mempunyai pengaruh atas pokok perkara atau putusan akhir.

b.       Putusan Interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, misalnya pemeriksaan untuk pemeriksaan saksi atau pemeriksaan setempat.

Pasal 332 Rv juga mengenal pembedaan atas bukan putusan akhir, yaitu:

a.      Putusan Insidentil adalah putusan yang berhubungan dengan insiden, yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa.

b.      Putusan Provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan provisional, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan.

F. Upaya Hukum Terhadap Putusan
    Suatu putusan tidaklah luput dari suatu kesalahan maupun kekhilafan. Sehingga bagi setiap putusan tersedia upaya hukum, yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.

1.       Upaya hukum biasa, pada asasnya terbuka untuk setiap putusan selama tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Upaya hukum ini bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara.

a.       Perlawanan (verset), yaitu upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya Tergugat (Pasal 125 ayat 3 jo. 129 HIR, 149 ayat 3 jo. 153 Rbg), yang mana biasanya sebagai pihak yang dikalahkan.

b.       Banding, yaitu upaya hukum terhadap putusan, dimana salah satu pihak dalam suatu perkara tidak menerima suatu putusan karena merasa hak-haknya terserang oleh adanya putusan tersebut, atau menganggap putusan tersebut kurang benar atau kurang adil.

c.       Prorogasi, yaitu upaya hukum dimana para pihak yang bersengketa sepakat untuk mengajukan sengketa tersebut kepada hakim yang tidak berwenang memeriksa sengketa tersebut, yaitu kepada hakim dalam tingkatan peradilan yang lebih tinggi, misalnya pada Pengadilan tingkat banding sebagai badan pengadilan tingkat pertama.

d.       Kasasi, yaitu upaya hukum untuk memintakan pembatalan putusan atas penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan terakhir, berdasarkan Pasal 29, 30 Undang-Undang No. 5 Tahun 2004

2.       Upaya hukum istimewa atau luar biasa, pada dasarnya hanya diberikan dan dibolehkan dalam hal-hal tertentu yang disebut dalam undang-undang saja.

a.       Peninjauan kembali, adalah upaya hukum istimewa yang dapat diajukan oleh salah satu pihak apabila berdasarkan alasan-alasan berikut, seperti yang disebutkan dalam Pasal 67 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung:

1.       Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya di putus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

2.       Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu diperiksa tidak dapat ditemukan;

3.       Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;

4.       Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum di putus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

5.       Apabila mengenai pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atau dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain; dan

6.       Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruhan yang nyata.

b.       Perlawanan pihak ketiga (derden verzet), yaitu upaya hukum yang dapat ditempuh apabila terdapat pihak ketiga yang hak-haknya dirugikan secara nyata oleh suatu putusan, bukan hanya kepentingan pihak ketiga tersebut yang dirugikan.


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.

Dalam suatu putusan terdapat asas yang harus ditegakkan, agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat, yang selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBg dan Pasal Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman.

Dalam HIR tidak mengatur tentang kekuatan putusan hakim. Putusan mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan:

1.           Kekuatan Mengikat

2.           Kekuatan Pembuktian

3.           Kekuatan Eksekutorial

Di dalam HIR tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaimana putusan hakim harus dibuat. Hanyalah tentang apa harus dimuat di dalam putusan diatur dalam Pasal 183, 184, 187, HIR, (Pasal 194, 195, 198 Rbg), Pasal 25 UU No. 4 Tahun 2004.

Pasal 185 ayat 1 HIR (pasal 196 ayat 1 Rbg) membedakan putusan antara:

1.           Putusan Akhir

2.           Putusan sela atau putusan antara atau bukan putusan akhir

Upaya hukum terhadap Putusan antara lain :

1.           Upaya hukum biasa

2.           Upaya hukum istimewa

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

SudiknoMertokususmo. (2009). Hukum Acara Perdata Indonesia. Penerbit Liberty: Yogyakarta

Yahya Harahap. (2008). Hukum Acara Perdata. PenerbitSinarGrafika: Jakarta

INTERNET

http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95572/potongan/S2-2016-358455-chapter1.pdf&ved=0ahUKEwjMntrS-u_XAhUK148KHZMIDP4QFghWMAc&usg-AOvVaw3osRwk2Qa6UO7KyJPq3Fj7

http://lib.ui.ac.id/file%3Ffile%3Ddigital/122996-PK%250III%2520656.8264-Penerapan%2520uitvoerbaar-Liteatur.pdf&ved=0ahUKEwiDmLPr-u_XAhUZTI8KHWSJAkQQFghSMAY&usg=AOvVaw1RnqgU65BKYM4nRM1EWNWF



Selasa, 03 November 2020

MAKALAH ASAS ASAS HUKUM WARIS

 ASAS ASAS HUKUM WARIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas UTS
Mata Kulih: Hukum Perdata
Dosen: Dr. Supriyadi, S.H, M.H
Disusun oleh:
Faza Al Muttaqin(1920110037)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM 
TAHUN 2020

KATA PENGANTAR

Dengan segala puji yang kita haturkan kehadirat Allah swt. Yang telah memberikan kesehatan jasmani dan rohani.sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ASAS ASAS PERKAWINAN”dengan lancar tanpa suatu halangan apapun.tuuannya pemakalah menbuat makalah ini,agar pembaca dapat memahami bagaimana dan apa saja yang terkait dalam Hukum Perdata yang ada di Indonesia.
Selesainya makalah ini tidak lepas dari bantuan lain-lain,oleh karena itu pemakaalah mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Dr. Supriyadi, S.H.,M.H. selaku dossen pengampuh mata kuliah Hukum Perdata,dan orang tua yang selalu memotivasi  dalam setiap langkah.
Sebelumnya pemakalah meminta maaf jika ada kesalahan kata dalam makalah ini.oleh karena itu,kritik dan saran yang bersifat membangun sangat pemakalah harapkan agar kedepannya menjadi lebih baik.
TERIMA KASIH…….

DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab 1 Pendahuluan
       A. Latara Belakang
       B. rumusan Masalah
       C. Tujuan Masalah
Bab II Pembahasaan
        A. Asas Asas Hukum Kewarisan
        B. Asas Asas Hukum Kewarisan Islam
        C. Asas Asas Hukum Kewarisan Adat
Bab III Penutup
        A. Kesimpulan

Daftar Isi


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
         
Hukum waris merupakan hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak. Hukum kewarisan islam di Indonesia adalah merupakan bagian keempat dari buku Hukum kekeluargaan Indonesia. Akhir-akhir ini warisan sering menjadi perdebatan saat akan dilakukan pembagian harta waris,padahal semua hal tentang harta warisan sudah diatur dengan adil didalam hukum islam sesuai dengan Al-Qur'an dan al-hadits.

B. Rumusan Masalah
       1.  Apa saja Asas Asas Hukum Waris?
       2. Apa Saja Asas Asas Hukum Ke warisan Islam?
C. Tujuan 
        1. Mengetahui Asas Asas Hukum Waris
        2. Mengetahui Asas Asas Hukum ke warisan islam



BAB II
PEMBAHASAN


A.  ASAS ASAS HUKUM WARIS

1. Asas  Kematian
                Asas ini diatur berdasarkan pasal 830 KUHPerdata yang menyatakan bahwa pewaris hanya berlangsung karena kematian. Berarti tidak akan ada proses pewarisan dari pewaris ke ahli waris kalau pewaris belum meninggal dunia, Asas kematian dikenal dan berlaku dalam hukum kewarisan islam, dan hukum kewarisan adat . Menurut Muhammad daud Ali " kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia" atau yang di ungkapkan Suhrawardi & Komis Simanjuntak bahwa "Hukum kewarsan islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata mata disebabkan adanya kematian."

2. Asas Hubungan Darah & Hubungan Perkawinan
                Asas ini diatur dalam pasal 832 ayat (1) dan pasal 852 a KUHPerdata. Asas hubungan daerah merupakan salah satu asas yang esensial dalam setiap sistem Hukum Kewarisan, karena faktor hubungan daerah & hubungan perkawinan menentukan kedekatan seseorang dengan pewaris, dan menentukan tentang berhak atau tidaknya bagi seorang menjadi ahli waris. Dalam hukum kewarisan menurut KUHPerdata bahwa " istri tidak mewarisi kecuali bila semua keluarga sedarah sudah tidak ada". Sedangkan dalam Hukum adat Wirjono Prodjodikoro dan Hilman hadikusuma " dalam hukum adat pernah ada ketentuan bahwa ibu sebagai janda bukan sebagai ahli waris dari ayah yang sudah meninggal".

3. Asas Perderajatan
                    Asas hukum kewarisan ini didasarkan pada prinsip; de naaste in het bloed erf hetgoed. menurut prinsip ini, maka yang berhak mewaris hanyalah keluarga yang lebih dekat dengan pewaris, sekaligus menentukan pula bahwa keluarga yang lebih dekat derajatnya dari pewaris akan menutup hak mewarisinya bagi keluarga yang lebih jauh derajatnya.  Menurut sistem kewarisan Hukum adat anak,ibu/bapak sebagai ahli waris yang lebih dekat dari pewaris melebihi dari aman/bibi, kakek/nenek,saudara pewaris.
                  berdasarkan penjelasan diatas, bahwa hukum kewarisan sama sama menempatkan anak, suami/istri, dan orang tua(bapak/ibu)  sebagai ahli waris yang memiliki derajat keutamaan pertama , yaitu anak sebagai ahli waris derajat keutamaan pertama dalam garis kebawah, sedangkan orangtua(bapak/ibu) sebagai ahli waris dalam derajat keutamaan pertama dalam garis ke atas. Dalam KUHPerdata dikenal empat golongan ahli waris yaitu golongan pertama, golongan kedua, golongan ketiga, golongan keempat dimana golongan pertama akan menutup golongan berikutnya, golongan kedua akan menutup golongan ketiga dan seterusnya.

4. Asas Pergantian Tempat (Plaatsvervuling)
                Asas ini merupakan penerobosan asas ketentuan yang mengatakan bahwa yang berhak menerima warisan haruslah ahli waris yang masih hidup pada waktu si pewaris meninggal dunia(pasal 836 KUHPerdata) , asas ini seolah olah menyalahi ketentuan bahwa" keluarga yang derajatnya lebih dekat akan menutup keluarga yang derajatnya jauh". Asas ini menjadi solusi atas ketentuan diatas sebab bila ketentuan diatas dijalankan maka dipastikan akan menimbulkan ketidak adilan dan ketidakpatutan terhadap pewaris yang lebih dahulu meninggal dunia.

5. Asas Bilateral
                Menurut asas ini seseorang dapat mewarisi dari garis bapak maupun dari garis ibu, demikian juga dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan. Asas ini memberikan hak dan kedudukan yang sama antara anak laki laki dan perempuan dalam hal mewarisi. Asas ini berlaku dalam hukum  kewarisan menurut KUHPerdata, hukum kewarisan menurut hukum islam, dan hukum adat. Dalam hukum kewarisan menurut islam ada perbedaan  hak warisnya  antara laki laki dengan perempuan, dimana laki laki mendapat dua bagian dan perempuan mendapat satu bagian.

6. Asas Individual
                 Asas ini menentukan ahli waris untuk mewarisi secara individu-individu bukan kelompok ahli waris dan bukan kelompok clan, suku, atau keluarga. Asas ini mengandung pengertian bahwa harta warisan dapat dibagi bagi pada masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan. 

7. Asas Segala Hak &  Kewajiban Pewaris Beralih Kepada Ahli Waris.
                    Menurut KUHPerdata,asas ini berhubungan erat dengan hak saisine yang maksudnya bahwa bagi yang meninggal dunia berpegang pada yang masih hidup. Dengan berpedoman pada prinsip ini, berarti apabila seorang meninggal dunia, maka segala harta kekayaan, hutang hutangnya akan berpindah kepada ahli warisnya.
Dalam hukum adat berlaku ketentuan bahwa harta kekayaan sebagai harta keluarga begitu juga hutang hutang yang ada juga merupakan bagian dari harta peninggalan.


B. Asas Asas Hukum Waris Islam
  1. Ijbari; Peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya. Asas Ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi yakni: (1) Dari segi peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia, (2) Jumlah harta yang sudah ditentukan bagimasing-masing ahli waris, dan (3) Penerima harta peninggalan sudah ditentukan dengan pasti yang mempunyai hubungan darah dan ikatan perkawinan dengan pewaris, seperti yang dirinci dalam pengelompokan ahli waris di Surat An Nisa ayat 11, ayat 12, dan ayat 176.
  2. Asas Bilateral; Berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak, dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan.
  3. Asas Individual; Dalam hukum kewarisan Islam harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan.
  4. Asas Keadilan Berimbang; adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban, keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya. Laki-laki dan perempuan mendapat hak yang sama sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
  5. Asas Akibat Kematian; Menurut hukum kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia.
 C. Asas-Asas Hukum Waris Adat
  1. Asas Ketuhanan dan Pengendalian Diri
Asas ketuhanan dan pengendalian diri, yaitu adanya kesadaran bagi para ahli waris bahwa rezeki berupa harta kekayaan manusia yang dapat dikuasai dan dimiliki merupakan karunia dan keridhaan Tuhan atas keberadaan harta kekayaan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan ridha Tuhan bila seseorang meninggal dan meninggalkan harta warisan, maka para ahli waris itu menyadari dan menggunakan hukum-Nya untuk membagi warisan mereka, sehingga tidak berselisih dan saling berebut warisan.
2. Asas Kesamaan dan Kebersamaan Hak
Asas kesamaan dan kebersamaan hak, yaitu setiap ahli waris mempunyai kedudukan yang sama sebagai orang yang berhak untuk mewarisi harta peninggalan pewarisnya. Oleh karena itu, memperhitungkan hak dan kewajiban tanggung jawab setiap ahli waris bukanlah berarti pembagian harta warisan itu mesti sama banyak, melainkan pembagian itu seimbang berdasarkan hak dan tanggungjawabnya.
3. Asas Kerukunan dan Kekeluargaan
Asas kerukunan dan kekeluargaan, yaitu para ahli waris mempertahankan untuk memelihara hubungan kekerabatan yang tentram dan damai, baik dalam menikmati dan memanfaatkan harta warisan tidak terbagi maupun dalam menyelesaikan pembagian harta warisan terbagi.
4. Asas Musyawarah dan Mufakat
Asas musyawarah dan mufakat, yaitu para ahli waris membagi harta warisannya melalui musyawarah yang dipimpin oleh ahli waris yang dituakan dan bila terjadi kesepakatan dalam pembagian harta warisan, kesepakatan itu bersifat tulus iklas yang dikemukakan dengan perkataan yang baik yang keluar dari hati nurani pada setiap ahli waris.

5. Asas Keadilan
Asas keadilan, yaitu keadilan berdasarkan status, kedudukan dan jasa, sehingga setiap keluarga pewaris mendapatkan harta warisan, baik bagian sebagai ahli waris maupun bagian sebagai bukan ahli waris, melainkan bagian jaminan harta sebagai anggota keluarga pewaris.

BAB 3
PENUTUP
A. KESIMPULAN
    Asas asas hukum kewarisan ada 7 yaitu 1. Asas Kematian, 2. Asas Hubungan Darah & Hubungan Perkawinan, 3. Asas Perderajatan, 4. Asas Pergantian Tempat (Plaatsvervuling), 5. Asas Bilateral, 6. Asas Individual, 7. Asas Segala Hak &  Kewajiban Pewaris Beralih Kepada Ahli Waris.
    Asas asas hukum kewarisan islam ada 5 yaitu 1. Ijbari, 2. Asas Bilateral, 3. Asas Individual, 4. Asas Keadilan Berimbang, 5. Asas Akibat Kematian. Asas asas Hukum Kewarisan Adat ada 5 yaitu 1. Asas Pengendalian  Diri dan Ketuhanan, 2. Asas Kesamaan dan Kebersamaan Hak, 3. Asas Kerukunan dan Kekeluargaan, 4. Asas Musyawarah dan Mufakat, 5.  Asas Keadilan.

DAFTAR PUSTAKA
Refrensi dari buku :
       Ali, Zainuddin, 2010, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika
    Anshori, Abdul Ghofur, 2012, Hukum Kewarisan di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University 
·       Saebani, Beni Ahmad, 2009, Fiqh Mawaris, Bandung: CV. Pustaka Setia
Syarifuddin,Amir.2004. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana