Putusan dan Upaya Hukum
- Apakah yang dimaksud dengan putusan dalam Hukum Acara Perdata?
- Apa sajakah asas-asas dalam Putusan Hakim?
- Seperti apa kekuatan dari sebuah putusan?
Bagaimanakah bentuk atau formulasi dari sebuah putusan?
Bagaimana bentuk atau jenis-jenis dari putusan?
Bagaimanakah upaya hukum terhadap putusan hakim?
- Mengetahui apa itu putusan dalam Hukum Acara Perdata
- Mengetahui Asas - Asas dalam Putusan Hakim
- Mengetahui seperti apa kekuatan dari Putusan
- Mengetahui bentuk dari sebuah Putusan
- Mengetahui jenis Jenis dari putusan
- Mengetahui Upaya Hukum Terhadap Putusan Hakim
a.
Pernyataan hakim
yang diberi wewenang oleh negara;
b. Diucapkan di muka persidangan; dan
c. Bertujuan untuk menyelesaikan atau memutus suatu perkara.
Dalam
membuat keputusan pengadilan, seorang hakim dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu :
a. Faktor hakim itu
sendiri, misalnya adalah kepribadiannya, intelegensi, suasana hati.
b. Faktor opini publik
yang tertulis dalam media massa ketika sidang tengah berlangsung.
c. Faktor pengacara,
misalnya performance dan gaya bicara yang meyakinkan juga memberikan pengaruh terhadap
putusan hukuman.
d. Faktor terdakwa, misalnya jenis kelamin terdakwa, ras dan kemampuan bicara.
B. Asas Asas Dalam Putusan
Dalam suatu putusan terdapat asas yang harus ditegakkan,
agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat, yang selanjutnya dijelaskan
dalamPasal 178 HIR, Pasal 189 RBg dan Pasal Undang-Undang No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan kehakiman
1.
Memuat Dasar
Alasan yang Jelas dan Rinci
Menurut asas ini, putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan ini dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan (onvol doen de gemotiveerd). Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuanPasal 25 UU No. 4 Tahun 2004 dan Pasal 178 ayat (1) HIR:
a. pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan
b. Hukum kebiasaan;
c. Yurisprudensi;
d. Doktrin hukum.
2. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Asas ini digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) RBG dan Pasal 50 Rv. Menurut ketentuan ini, putusan yang dijatuhkan pengadilan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap gugatan yang diajukan. Hakim tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja, dan mengabaikan gugatan selebihnya.
3.
Tidak Boleh Mengabulkan
Melebihi Tuntutan
Asas ini digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR, Pasal 189 ayat (3) RBG dan Pasal 50 Rv. Menurut ketentuanini, putusan yang dijatuhkan pengadilan tidakboleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan (ultra petitum partium). Hakim yang memutus melebihi tuntutan merupakan tindakan melampaui batas kewenangan (beyond the powers of this authority), sehingga putusannya cacat hukum. Larangan hakim menjatuhkan putusan melampaui batas wewenangnya ditegaskan juga dalam Putusan MA No. 1001 K/Sip/1972. Dalam putusan mengatakan bahwa hakim dilarang mengabulkan hal-hal yang tidak diminta atau melebihi dari apa yang diminta.
4. Diucapkan di Sidang Terbuka Untuk Umum
Menurut Pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004, semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam siding terbuka untuk umum. Tujuan dari ketentuan iniuntuk menghindari putusan pengadilan yang an fair trial . Selain itu, menurut SEMA No. 04 Tahun 1974, pemeriksaan dan pengucapan putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila dilakukan dalam siding pengadilan.
C. Kekuatan Putusan
Dalam HIR tidak mengatur tentang kekuatan putusan
hakim. Putusan mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan:
1.
Kekuatan Mengikat
Suatu putusan dimaksudkan untuk dapat melaksanakan atau merealisasikan suatu hak secara paksa.
Sehingga, putusan hakim mempunyai kekuatan hukum mengikat para pihak (Pasal 1917
BW).
Kekuatan mengikat ini karena kedua pihak telah bersepakat untuk menyerahkan kepada pengadilan untuk menyelesaikan sengketa
yang terjadi antara mereka,
maka dengan demikian kedua pihak harus tunduk terhadap putusan yang dibuat oleh
pengadilan atau hakim.
2.
Kekuatan Pembuktian
Suatu putusan dituangkan dalam bentuk tertulis, yang
merupakan akta otentik dimaksudkan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti para pihak,
yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi, atau pelaksanaannya.
3.
Kekuatan Eksekutorial
Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak dan hukumnya.
a.
Kepala putusan,
memiliki kekuatan eksekutorial kepada putusan pengadilan. Pencantuman kata-kata
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” dalam putusan pengadilan oleh pembuat Undang-Undang juga dimaksudkan agar hakim selalu menginsafi,
bahwa karena sumpah jabatannya ia tidak hanya bertanggung jawab pada hukum,
diri sendiri, dan kepada rakyat, tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang
Maha Esa (Penjelasan Umum angka 6 UU No.14/1970).
b.
Identitas pihak-pihak
yang berperkara, dalam putusan pengadilan identitas pihak penggugat, tergugat
dan turut tergugat harus dimuat secara jelas, yaitu nama, alamat, pekerjaan,
dan sebagainya serta nama kuasanya kalau yang bersangkutan menguasakan kepada
orang lain.
c.
Pertimbangan
(alasan-alasan), dalam putusan pengadilan terhadap perkara perdata terdiri atas
2 (dua) bagian, yaitu :
i. Pertimbangan tentang duduk perkaranya (feitelijkegronden), adalah bukan pertimbangan dalam arti sebenarnya, oleh karenanya pertimbangan tersebut hanya menyebutkan apa yang terjadi didepan pengadilan. Sering kali dalam prakteknya gugatan penggugat dan jawaban tergugat dikutip secara lengkap, padahal dalamPasal 184 HIR/Pasal 195 RBg menentukan bahwa setiap putusan pengadilan dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas.
ii. Pertimbangan tentang hukumnya (rechts gronden),
adalah pertimbangan atau alasan dalam arti yang sebenarnya,
pertimbangan hukum inilah yang menentukan nilai dari suatu putusan pengadilan,
yang penting diketahui oleh pihak-pihak yang ber perkara dan hakim yang meninjau
putusan tersebut dalam pemeriksaan tingkat banding dan tingkat kasasi.
d.
Amar Putusan, dalam
gugatan penggugat ada yang namanya petitum, yakni apa yang dituntut atau
diminta supaya diputuskan oleh hakim. Jadi Amar putusan (diktum) itu adalah
putusan pengadilan merupakan jawaban terhadap petitum dalam gugatan penggugat.
E. Jenis Jenis Putusan
1.
Putusan akhir,
adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.
Putusan akhir berdasarkan sifatnya dibagi atas:
a.
Putusan Condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang
dikalahkan untuk memenuhi prestasi.
b.
Putusan Constitutif adalah putusan yang meniadakan atau mencipatakan suatu keadaan hukum,
mislanya pemutusan perkawinan, pengangkatan wali, pernyataan pailit, dan lain-lain.
c.
Putusan Declaratoir adalah putusan yang
isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah.
2.
Putusan sela atau putusan antara atau bukan putusan akhir
Pasal
48 Rv juga membedakan putusan antara:
a. Putusan Praeparatoir adalah putusan sebagai persiapan putusan akhir,
tanpa mempunyai pengaruh atas pokok perkara atau putusan akhir.
b. Putusan Interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian,
misalnya pemeriksaan untuk pemeriksaan saksi atau pemeriksaan setempat.
Pasal
332 Rv juga mengenal pembedaan atas bukan putusan akhir, yaitu:
a.
Putusan Insidentil adalah putusan yang berhubungan dengan insiden,
yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa.
b. Putusan Provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan provisional, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan.
1.
Upaya hukum biasa,
pada asasnya terbuka untuk setiap putusan selama tenggang waktu yang ditentukan oleh
undang-undang.
Upaya hukum ini bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara.
a.
Perlawanan
(verset), yaitu upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di
luar hadirnya Tergugat (Pasal 125 ayat 3 jo. 129 HIR, 149 ayat 3 jo. 153 Rbg),
yang mana biasanya sebagai pihak yang dikalahkan.
b.
Banding,
yaitu upaya hukum terhadap putusan, dimana salah
satu pihak dalam suatu perkara tidak menerima suatu putusan karena merasa hak-haknya terserang
oleh adanya putusan tersebut,
atau menganggap putusan tersebut kurang benar atau kurang adil.
c.
Prorogasi,
yaitu upaya hukum dimana para pihak yang
bersengketa sepakat untuk mengajukan sengketa tersebut kepada hakim yang
tidak berwenang memeriksa sengketa tersebut, yaitu kepada hakim
dalam tingkatan peradilan yang lebih tinggi, misalnya pada Pengadilan tingkat banding
sebagai badan pengadilan tingkat pertama.
d.
Kasasi,
yaitu upaya hukum untuk memintakan pembatalan putusan atas penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan terakhir,
berdasarkan Pasal 29, 30 Undang-Undang No. 5 Tahun 2004
2.
Upaya hukum istimewa atau luar biasa,
pada dasarnya hanya diberikan dan dibolehkan dalam hal-hal tertentu yang
disebut dalam undang-undang saja.
a.
Peninjauan kembali,
adalah upaya hukum istimewa yang dapat diajukan oleh salah
satu pihak apabila berdasarkan alasan-alasan berikut, seperti yang
disebutkan dalam Pasal 67 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung:
1.
Apabila putusan didasarkan
pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang
diketahui setelah perkaranya di putus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian
oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
2.
Apabila setelah perkara diputus,
ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada
waktu diperiksa tidak dapat ditemukan;
3.
Apabila telah dikabulkan suatu hal
yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
4.
Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum di putus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
5.
Apabila mengenai pihak-pihak
yang sama mengenai suatu soal yang sama, atau dasar yang sama oleh pengadilan yang
sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang
lain; dan
6.
Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruhan yang nyata.
b. Perlawanan pihak ketiga (derden verzet), yaitu upaya hukum yang dapat ditempuh apabila terdapat pihak ketiga yang
hak-haknya dirugikan secara nyata oleh suatu putusan, bukan hanya kepentingan pihak ketiga tersebut
yang dirugikan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim
adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang
diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan
bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para
pihak.
Dalam suatu putusan terdapat asas yang harus ditegakkan,
agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat, yang
selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBg dan Pasal Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman.
Dalam
HIR tidak mengatur tentang kekuatan putusan hakim. Putusan mempunyai 3 (tiga)
macam kekuatan:
1.
Kekuatan Mengikat
2.
Kekuatan Pembuktian
3.
Kekuatan Eksekutorial
Di
dalam HIR tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaimana putusan hakim
harus dibuat. Hanyalah tentang apa harus dimuat di dalam putusan diatur dalam
Pasal 183, 184, 187, HIR, (Pasal 194, 195, 198 Rbg), Pasal 25 UU No. 4 Tahun
2004.
Pasal
185 ayat 1 HIR (pasal 196 ayat 1 Rbg) membedakan putusan antara:
1.
Putusan Akhir
2.
Putusan sela atau putusan antara atau bukan putusan akhir
Upaya
hukum terhadap Putusan antara lain :
1.
Upaya hukum biasa
2.
Upaya hukum istimewa
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
SudiknoMertokususmo. (2009). Hukum Acara
Perdata Indonesia. Penerbit Liberty: Yogyakarta
Yahya Harahap. (2008). Hukum Acara Perdata. PenerbitSinarGrafika: Jakarta
INTERNET
http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95572/potongan/S2-2016-358455-chapter1.pdf&ved=0ahUKEwjMntrS-u_XAhUK148KHZMIDP4QFghWMAc&usg-AOvVaw3osRwk2Qa6UO7KyJPq3Fj7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar